Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Koran Bhirawa Pada hari Rabu tanggal 2 Agustus 2023
Ditulis Oleh:
Ubed Bagus Razali, S.H.I., S.H.
( Hakim Pengadilan Agama Selatpanjang )
Pada 17 Juli 2023 lalu Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar Umat Yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. Terbitnya Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 itu sendiri tidak lain untuk menjawab sekaligus mengakhiri polemik tentang pencatatan perkawinan beda agama dan keyakinan yang selama ini terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Polemik tentang keabsahan dan pencatatan perkawinan beda agama dan keyakinan tersebut sebenarnya telah lama terjadi. Sebab, selain karena tidak adanya larangan secara tegas mengenai perkawinan beda agama dan keyakinan, peraturan perundang-undangan yang ada selama ini juga masih memberikan celah hukum kepada pasangan beda serta keyakinan untuk dapat memperoleh pengakuan terhadap keabsahan pencatatan perkawinannya melalui penetapan pengadilan.
Celah hukum yang selama ini dijadikan landasan oleh pasangan beda agama dan keyakinan untuk dapat memperoleh pengakuan tentang keabsahan dan mencatatkan perkawinannya melalui penetapan pengadilan itu terdapat dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: “para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan perkawinan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas”
Namun, sejak lahirnya Undang-undang 23 Tahun 2006 tentang Adminitrasi Kependudukan celah hukum bagi pasangan beda agama dan keyakinan untuk memperoleh keabsahan tentang pencatatan perkawinan beda agama dan keyakinan menjadi semakin terbuka lebar. Sebab, dalam Pasal 35 huruf a Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, telah dinyatakan: “pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a. perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan”, dan penjelasan Pasal 35 huruf a Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang menegaskan bahwa: “yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama”.
Penjelasan Pasal 35 huruf a Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan tersebut di atas sangat bertentangan (contradiction in terminis) dengan peraturan perundang-undangan yang lain, seperti dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Sebab, di dalam perkawinan itu terdapat kepentingan serta tanggung jawab yang saling berkaitan antara agama dan negara. Relasi antara agama serta negara dalam hukum perkawinan adalah agama menetapkan keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan admistratif perkawinan dalam koridor hukum.
Padahal, salah satu syarat dalam materi muatan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana telah dinyatakan di dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ialah: “mencerminkan asas ketertiban dan kepastian hukum”. Selain itu, penjelasan peraturan perundang-undangan sebagaimana dinyatakan yang di dalam lampiran Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan angka 178, menyatakan: “penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Upaya untuk menutup celah hukum perkawinan beda agama dan keyakinan itu sebelumnya pernah dilakukan Mahkamah Konstitusi. Melalui putusan nomor 68/PUU-XII/2014 dan 24/PUU-XX/2022, Mahkamah Konstitusi dengan sangat tegas telah menolak untuk memberikan landasan konstitusionalitas terhadap perkawinan beda agama dan keyakinan. Meskipun, kedua putusan itu hanya menguji norma hukum yang terdapat di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan bukan Pasal 21 ayat (3) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Pasal 35 huruf a Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, namun karena pencatatan perkawinan adalah akibat hukum dari adanya pengakuan mengenai sah atau tidaknya perkawinan, yang sebelumnya telah dinyatakan oleh MK bahwa konstitusionalitas perkawinan yang sah ialah yang dilaksanakan menurut agama dan kepercayaannya, maka kedua putusan MK itu telah menutup celah dan upaya hukum bagi pasangan beda agama dan keyakinan untuk mendapatkan pengakuan tentang keabsahan pencatatan perkawinannya, termasuk melalui penetapan pengadilan.
Perkawinan ialah bagian dari bentuk ibadah dan ekspresi beragama. Sehingga, perkawinan dapat dikategorikan sebagai forum eksternum, dimana negara dapat campur tangan, seperti dalam pengelolaan zakat dan haji. Meskipun demikian, peran negara bukan untuk membatasi keyakinan seseorang, melainkan lebih dimaksudkan agar ekspresi beragama tidak menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianutnya.
Meskipun perkawinan merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang diakui dan dituangkan dalam konstitusi negara Indonesia. Namun, HAM yang berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan kepada Pancasila sebagai identitas bangsa. Walaupun Jaminan perlindungan HAM secara universal yang tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights telah dideklarasikan sebagai bentuk kesepakatan bersama negara-negara di dunia, tetapi penerapan HAM tersebut di tiap-tiap negara disesuaikan dengan ideologi, agama, sosial,dan budaya masyarakat di masing-masing negara.
Perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia, sebagaimana diatur oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan yang telah direvisi menjadi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Untuk itu, maka segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan warga negara termasuk menyangkut urusan perkawinan harus tunduk dan taat serta tidak boleh bertentangan atau melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur serta melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan.
Keabsahan perkawinan adalah domain agama yang memiliki otoritas memberi penafsiran keagamaan. Peran negara menindaklanjuti hasil penafsiran yang diberikan oleh agama tersebut. Pelaksanaan pencatatan perkawinan oleh institusi negara dalam rangka memberi kepastian dan ketertiban administrasi kependudukan sesuai dengan semangat yang terkandung di dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD) Tahun 1945 yang menyatakan: “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukann yang sama dihadapan hukum”.
Dengan demikian, maka keberadaan putusan MK nomor 68/PUU-XII/2014 dan 24/PUU-XX/2022 yang dilengkapi dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar Umat Yang Berbeda Agama dan Kepercayaan tersebut telah memberikan kepastian hukum terkait pencatatan perkawinan hingga direvisinya Pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang selama ini memberikan celah hukum bagi pasangan yang berbeda agama dan keyakinan untuk mendapat pengakuan mengenai keabsahan pencatatan perkawinannya melalui penetapan pengadilan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Revisi peraturan perundang-undangan ini sangat penting dan juga mendesak untuk segera dilakukan, sebab selain untuk terciptanya ketertiban hukum, revisi ini juga dapat mengakhiri polemik mengenai pencatatan perkawinan beda agama yang selama ini terjadi di tengah-tengah masyarakat.