OLEH : LAELA MUBAROKAH, S.Ag

Penata Layanan Operasional PA Dumai

A. PENDAHULUAN

Kehadiran media sosial dapat diibaratkan sebagai buah simalakama, sebuah ungkapan yang tampaknya sangat relevan dengan kondisi saat ini. Media sosial memiliki banyak manfaat dan kemudahan, seperti kemudahan dalam memperoleh informasi, sarana berkomunikasi, dan mendekatkan yang jauh. Namun, sayangnya, masyarakat masih belum sepenuhnya dewasa dalam memanfaatkan media sosial dengan bijak. Akibatnya, konten negatif masih banyak beredar dalam berbagai bentuk seperti hoaks, pornografi, dan ujaran kebencian.Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah kondisi media sosial saat ini, terutama terkait dengan konten negatif yang mengandung ujaran kebencian serta netizen yang perilakunya telah jauh melenceng dari nilai-nilai Islam. Kita dapat melihat berbagai bentuk ujaran kebencian yang seringkali ditampilkan secara jelas baik melalui postingan maupun kolom komentar masih banyak temuan yang tidak menyenangkan terkait kondisi akhlak dalam bermedia sosial dan dampaknya.

Peristiwa-peristiwa yang menimbulkan keresahan, perpecahan, dan postingan tidak beradab berpotensi muncul kembali seiring dengan berlangsungnya pilkada serentak 2020. Ujaran kebencian tidak hanya dapat memicu tindakan kriminal, tetapi juga memiliki dampak yang sangat berbahaya. Menurut Savic dalam bukunya "Seri Cerdas Hukum: Cerdas Menghadapi Pencemaran Nama Baik, Ujaran Kebencian, dan Hoaks," ujaran kebencian pada titik terparah dapat memicu genosida. Sementara pada titik terendah, ujaran kebencian dapat menyebabkan konflik horizontal (Mauludi, 2018). Genosida adalah kejahatan yang dijelaskan dalam Hukum Pidana Internasional sebagai tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok berdasarkan kewarganegaraan, etnis, ras, atau agama. Tindakan tersebut meliputi pembunuhan anggota kelompok dan menyebabkan kerusakan serius terhadap fisik atau mental anggota kelompok.Untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis, penting untuk mengembangkan bentuk komunikasi yang beradab. Jalaludin Rahmat menggambarkan bahwa dalam komunikasi yang beradab, komunikator menghargai nilai-nilai yang dihargai oleh audiensnya, berempati, dan berusaha memahami realitas dari sudut pandang mereka. Pengetahuan tentang audiens bukan untuk menipu, melainkan untuk memahami, bernegosiasi, dan saling memuliakan kemanusiaan. Sebaliknya, komunikasi yang kurang beradab terjadi ketika komunikator memperlakukan pihak lain sebagai objek dan hanya menuntut pemahaman dari pihak lain tanpa menghormati pendapat mereka. Dalam bentuk komunikasi ini, komunikator tidak hanya mendehumanisasikan pihak lain, tetapi juga dirinya sendiri (Bahrudin, 2010).

B. PEMBAHASAN

CARA BERKOMUNIKASI SESUAI AL-QUR’AN DAN SUNNAH.

Islam sebagai agama yang komunikatif menekankan pentingnya komunikasi dalam kehidupan manusia. Setiap langkah kita selalu melibatkan komunikasi, dan komunikasi yang dimaksud di sini adalah komunikasi yang islami, yaitu yang ber-akhlak al-karimah dan bersumber dari Alquran. Dalam proses komunikasi, terdapat tiga unsur utama: komunikator, media, dan komunikan. Komunikasi Islam adalah proses penyampaian pesan-pesan keislaman dengan menggunakan prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu, komunikasi Islam menekankan unsur pesan, yaitu risalah atau nilai-nilai Islam, dan cara penyampaian pesan tersebut. Pesan-pesan keislaman mencakup seluruh ajaran Islam, dan Alquran memberikan berbagai panduan agar komunikasi berjalan dengan baik dan efektif.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rezky Amaliah, dirangkum sembilan etika berkomunikasi dalam Islam yang perlu dipelajari, terutama bagi mereka yang bekerja di bidang pelayanan. Berikut adalah parafrase dari sembilan etika tersebut:

  1. Kejujuran: Menyampaikan informasi dengan jujur dan tidak menipu atau menyesatkan.
  2. Keadilan: Bersikap adil dalam berkomunikasi, tidak memihak dan tidak berat sebelah.
  3. Kesabaran: Menunjukkan kesabaran, terutama saat menghadapi situasi sulit atau emosi.
  4. Kebaikan dan Kesopanan: Menggunakan bahasa yang baik, sopan, dan menghargai orang lain.
  5. Menghindari Ghibah (Gosip): Tidak membicarakan keburukan orang lain di belakang mereka.
  6. Menghindari Fitnah: Tidak menyebarkan informasi yang belum terbukti kebenarannya atau yang dapat merusak reputasi orang lain.
  7. Kebijaksanaan: Memilih waktu dan tempat yang tepat untuk berkomunikasi serta mempertimbangkan kondisi dan perasaan lawan bicara.
  8. Tanggung Jawab: Bertanggung jawab atas apa yang dikatakan dan memastikan informasi yang diberikan benar dan akurat.
  9. Saling Menghormati: Menghormati perbedaan pendapat dan tidak memaksakan kehendak pribadi.

Etika-etika ini merupakan panduan penting dalam berinteraksi, memastikan komunikasi yang efektif dan sesuai dengan ajaran Islam.Setiap memulai berkomunikasi, Islam mempunyai sapaan singkat tapipenuh cinta “Assalamualikum warahmatullahiwabarakatuh”. Islam hadir dengan penuh pesan damai. Kalimatnya memang singkat tapi sarat aka makna, dengan saapaan tersebut, orang muslim selalu berharap dan memohon keselamatan bagi- saudara-saudaranya. (Musyadi, 2005)

Al-Qur‟an mengajarkan manusia agar melakukan komunikasi dengan baik, supaya tercipta hubungan yang harmonis antara penyampai pesan dengan penerima pesan, dan pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi tersebut juga dapat dipahami. Untuk itu, Al-Qur‟an mengajarkan etika dalam berkomunikasi, dan model komunikasi terhadap manusia sesuai dengan situasi dan kondisi lawan bicara, hal tersebut juga termasuk etika dalam berkomunikasi ketika bermedia sosial.

Salah satu etikanya ketika berkomunikasi, Islam mengajarkan harus dengan baik dan penuh sopan satun. Allah SWT Berfirman dalam Al Quran Surat Thaha: 44 yang artinya : “ maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir„aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut”. Syaikh Ali As-Shabuni dalam Kitab Shawatut Tafasir miliknya menafsirkan redaksi ayat tersebut “pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya adia telah melampui batas, maksudnya adalah dia kejam, dan kelewatan durhaka serta sesat. “maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut”. Berkatalah kalian berdua kepada Firaun dengan lemah lembut dan halus “mudah-mudahan ia ingat dan takut,” semoga dia ingat akan keagungan Allah atau takut akan siksanya, sehingga dia menghentikan kesatannya. (Ash-Shabuni, 2013). Hubungan dalam agama Islam tidak hanya mencakup aspek spiritual. Islam juga telah mengatur umatnya baik hubungan vertikal yang diistilahkan hablumminallah (hubungan dengan Allah SWT) maupun horizontal atau hablumminannas (hubungan dengan sesama manusia).Ada Sembilan  etika berkomunikasi dalam Islam yang mesti dipelajari khususnya bagi kita yang bertugas dalam bidang pelayanan , Antara lain:

  1. Qaulan Sadidan (Perkataan yang Tegas dan Benar). Kata "qaulan" berasal dari kata "qaala," yang berarti berbicara. "Sadidan" berarti jelas, jernih, dan terang. Qaulan sadidan diartikan sebagai perkataan yang jelas, tidak meninggalkan keraguan, meyakinkan pendengar, serta benar dan tidak mengada-ada. Perintah untuk berbicara secara jujur terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 9. Qaulan sadidan mencakup perkataan yang benar, tegas, jujur, lurus, to the point, tidak berbelit-belit, dan tidak bertele-tele.

Dalam Al-Qur'an, kata qaulan sadidan disebutkan dua kali, yaitu:

  1. An-Nisa' 4: Ayat 9 وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَا فُوْا عَلَيْهِمْ ۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوا قَوْلًا سَدِيْدًا

"Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar."

  1. Al-Ahzab 33: Ayat 70 يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا ۙ

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar."

Dari kedua konteks ayat tersebut, qaulan sadidan merupakan perkataan yang jelas, tidak meninggalkan keraguan, meyakinkan pendengar, dan benar, tidak mengada-ada (buhtan: tuduhan tanpa bukti).Alfred Korzybski, seorang peletak dasar teori general semantics, menyatakan bahwa penyakit jiwa, baik individual maupun sosial, timbul karena penggunaan bahasa yang tidak benar. Korzybski mengidentifikasi dua masalah utama:

  1. Menggunakan kata-kata yang sangat abstrak, ambigu, atau menimbulkan penafsiran yang sangat berbeda apabila kita tidak setuju dengan pandangan orang lain.
  2. Menciptakan istilah yang diberi makna lain berupa eufemisme atau pemutarbalikan makna, terjadi bila kata-kata yang digunakan sudah diberi makna yang bertentangan dengan makna yang lazim.
  3. Qaulan Balighan (Perkataan yang Membekas pada Jiwa). Balighan berarti mencapai atau sampai. Prinsip kedua dalam berkomunikasi menurut Islam adalah menyampaikan sesuatu secara langsung ke inti permasalahan, sehingga mudah dipahami dan tepat sasaran. Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 63, qaulan balighan diterjemahkan sebagai perkataan yang membekas pada jiwa. Kata "baligh" berarti tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya. Qaulan Baligha berarti menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah, dan tidak bertele-tele.

Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan harus disesuaikan dengan tingkat intelektualitas komunikan serta menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka.

اُولٰٓئِكَ الَّذِيْنَ يَعْلَمُ اللّٰهُ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ فَاَ عْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَّهُمْ فِيْۤ اَنْفُسِهِمْ قَوْلًاۢ بَلِيْغًا "Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 63)

Dengan melihat ayat Al-Qur’an di atas, gaya bicara dan pilihan kata saat berkomunikasi dengan orang awam harus berbeda dengan saat berbicara dengan kalangan cendekiawan. Berbicara di depan anak-anak TK tentu berbeda dengan berbicara di depan mahasiswa. Dalam konteks akademis, kita dituntut untuk menggunakan bahasa akademis. Saat berkomunikasi di media massa, gunakanlah bahasa jurnalistik sebagai bahasa komunikasi massa.

  1. Qaulan Layyinan (Perkataan yang Lemah Lembut). Layyinan berarti lemah lembut. Dalam berkomunikasi dengan orang lain, kita harus bisa mengendalikan emosi dan memilih kata-kata yang tepat agar tidak melukai perasaan orang lain. Prinsip etika komunikasi ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Ta Ha ayat 44. Qaulan layyinan adalah penyampaian pesan dengan lembut, suara yang menyenangkan, halus, tidak menghakimi, mengingatkan tentang hal-hal yang disepakati seperti kematian, dan memanggil dengan panggilan yang disukai, penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati. Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa layyinan berarti kata-kata sindiran, bukan kata-kata yang terus terang atau kasar.

فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى " maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut." (QS. Ta-Ha 20: Ayat 44)

Ayat ini merupakan perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun untuk berbicara dengan lemah lembut, bukan kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layyinan, hati orang yang diajak berkomunikasi akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan yang disampaikan. Nabi Muhammad SAW mencontohkan kepada kita bahwa beliau selalu berbicara dengan lemah lembut kepada siapa pun, baik kepada keluarganya, kaum muslimin yang telah mengikuti beliau, maupun kepada orang-orang yang belum beriman.

  1. Qaulan Maysuran. Qaulan Maysuran, dalam konteks komunikasi dakwah Islam, mengacu pada bentuk komunikasi yang mudah dipahami dan dapat diterima oleh berbagai latar belakang dan pemahaman. Ini penting karena dakwah tidak hanya ditujukan kepada individu tertentu, tetapi kepada seluruh manusia dengan berbagai pemahaman dan latar belakang.

Dalam hadits yang Anda sebutkan, Imam Bukhari menekankan pentingnya berkata dengan baik atau diam. Hal ini menegaskan bahwa komunikasi yang baik adalah kunci dalam menyampaikan pesan dakwah dengan efektif. Dalam konteks dakwah, komunikasi yang baik bukan hanya tentang kata-kata yang dipilih, tetapi juga cara menyampaikan pesan dengan penuh hikmah, kesopanan, dan menghormati pendengar.

Dalam praktiknya, seorang Da'i perlu memahami audiensnya dengan baik untuk bisa menggunakan jenis komunikasi yang tepat. Misalnya, qaulan baligha (komunikasi tegas), qaulan layyin (komunikasi lembut), qaulan karima (komunikasi mulia), dan sebagainya, sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik audiens yang dituju.

  1. Qaulan Ma'rufa (Perkataan yang baik). Dalam konteks komunikasi dakwah Islam, 'Qaulan Maysuran' merujuk pada bentuk komunikasi yang mudah dipahami dan dapat diterima oleh berbagai latar belakang dan pemahaman. Hal ini sangat penting karena dakwah ditujukan kepada seluruh manusia dengan beragam pemahaman dan latar belakang.Seperti yang Anda sebutkan, hadits yang menekankan pentingnya berkata dengan baik atau diam menegaskan bahwa komunikasi yang baik sangat krusial dalam menyampaikan pesan dakwah secara efektif. Ini termasuk dalam pemilihan kata-kata yang tepat dan juga dalam cara menyampaikan pesan dengan penuh hikmah, kesopanan, dan penghargaan terhadap pendengar.

Dalam praktiknya, seorang Da'i perlu memahami audiensnya dengan baik untuk dapat menggunakan jenis komunikasi yang tepat. Ini dapat mencakup penggunaan qaulan baligha (komunikasi tegas), qaulan layyin (komunikasi lembut), qaulan karima (komunikasi mulia), dan lainnya, sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik audiens yang dituju.

  1. Qaulan karima (perkataan yang mulia). Qaulan Karima adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama. Dalam ayat tersebut perkataan yang mulia wajib dilakukan saat berbicara dengan kedua orangtua. Kita dilarang membentak mereka atau mengucapkan kata-kata yang sekiranya menyakiti hati mereka.

Qaulan Karima harus digunakan khususnya saat berkomunikasi dengan kedua orangtua atau orang yang harus kita hormati. Yang mana telah allah firmankan dalam surat Al-Isra:23, yaitu sebagai berikut :

 

وَقَضٰى رَبُّكَ اَ لَّا تَعْبُدُوْۤا اِلَّاۤ اِيَّاهُ وَبِا لْوَا لِدَيْنِ اِحْسَا نًا ۗ اِمَّا يَـبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَاۤ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَاۤ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik."

(QS. Al-Isra' 17: Ayat 23).

 

Inti dari ayat tersebut setidaknya mengandung dua hal, yaitu :

  1. Berkenaan dengan tuntunan dalam berakhlak kepada orang tua. Menurut Hamka (1999:63), dalam tafsir Al-Azhar menjelaskan bahwa akhlak kepada Allah SWT merupakan pokok etika sejati.
  2. Tuntunan akhlak kepada orang tua, antara lain : berbakti, mengurus ketika sudah memasuki usia lanjut dll.

 

  1. Qaulan Tsaqilan (perkataan yang penuh makna). Qaulan tsaqilan yakni penyampaian pesan yang berbobot dan penuh makna, memiliki nialai yang dalam, memerlukan perenungan untuk memahaminya, dan bertahan lama. Dengan demikian Qaulan tsaqilan juga berarti kata-kata yang berbobot dan berat dari seorang ahli hikmah. Artinya, 'qaulan tsaqila' biasanya memuat sebuah konsep pemikiran yang mendalam dan memiliki bobot baik secara intelektual maupun spiritual.

 

Allah berfirman dalam surah al-Muzzammil ayat 5:

اِنَّا سَنُلْقِيْ عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا

"Sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu."

(QS. Al-Muzzammil 73: Ayat 5)

 

Qaulan tsaqilan oleh Al-Quran lahir dari sebuah proses pendekatan diri kepada Allah. Yaitu dengan memperbanyak shalat malam, membaca Al-Quran, berdzikir dan bersabar menghadapi cobaan hidup.

 

Para ulama atau para wali Allah yang telah mencapai maqom ini, maka saat berbicara perkataannya pasti berbobot dan berisi. Kata-kata hikmah dari para ulama adalah qaulan tsaqila sehingga bisa bertahan ratusan tahun, karena ia lahir dari perenungan mendalam setelah melalui proses spiritual tinggi.

 

  1. Ahsanu Qaulan (perkataan yang terbaik). Ahsanu qaulan yakni menyampaikan perkataan pilihan kata terbaik. Allah berfirman dalam surah Fushshilat ayat 33:

 

وَمَنْ اَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّنْ دَعَاۤ اِلَى اللّٰهِ وَعَمِلَ صَا لِحًا وَّقَا لَ اِنَّنِيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

"Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata, Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)?". (QS. Fussilat 41: Ayat 33)

 

Menurut tasfsir Ibnu Katsir, Firman Allah: wa man ahsanu qaulan mimman da’aa ilallaaHi (“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah.”) yakni menyeru para hamba Allah kepada-Nya. Wa ‘amila shaalihaw wa qaala innanii minal muslimiin (“Dan mengerjakan amal yang shalih dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’”) artinya dia sendiri menjalankan apa yang dikatakannya, maka manfaaatnya untuk dirinya sendiri dan orang lain.Dia bukan termasuk orang-orang yang memerintahkan kepada yang ma’ruf akan tetapi dia sendiri tidak mengerjakannya. Serta melarang dari kemungkaran akan tetapi dia sendiri mengerjakannya. Akan tetapi ia adalah orang yang melaksanakan kebaikan, meninggalkan keburukan dan menyeru manusia kepada kebaikan yang menyeru manusia kepada kebaikan dan dia sendiri melaksanakannya

 

  1. Qaulan 'Adzima (perkataan yang mengandung dosa besar). Berbeda dengan 8 qaulan sebelumnya, Qaulan 'Adzima ini merupakan ujaran yang mengandung penentangan yang nyata terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya. 

 

اَفَاَ صْفٰٮكُمْ رَبُّكُمْ بِا لْبَـنِيْنَ وَ اتَّخَذَ مِنَ الْمَلٰٓئِكَةِ اِنَا ثًا ۗ اِنَّكُمْ لَتَقُوْلُوْنَ قَوْلًا عَظِيْمًا

"Maka apakah pantas Tuhan memilihkan anak laki-laki untukmu dan Dia mengambil anak perempuan dari malaikat? Sungguh, kamu benar-benar mengucapkan kata yang besar (dosanya)." (QS. Al-Isra' 17: Ayat 40)

Termasuk jenis 'qaulan adzima' adalah setiap ujaran kebencian (hatespeech), atau ujaran yang mengandung permusuhan dan penipuan. Apalagi di era digital dan arus informasi yang sangat terbuka, orang zaman ini begitu mudah mengakses informasi.Maka, di media sosial, jika orang hanya menggunakannya untuk menumpahkan fitnah, caci maki dan menyebarkan ujaran-ujaran yang justru semakin menjauhkan manusia dari jalan Allah, maka hal tersebut termasuk jenis 'qaulan adzima', yaitu perkataan yang mengandung dosa besar.

  1. KESIMPULAN

Konsep komunikasi dalam ajaran Islam selalu terikat dengan tuntunan ajaran al-Quran dan Sunnah Nabi yang pada dasarnya manusia selalu menaati perintah dan larangan ajaran agama Islam itu sendiri. Untuk menggunakan komunikasi yang baik, seseorang hendaknya selalu memperhatikan dan berhati-hati serta memikirkan terlebih dahulu terhadap apa yang mereka ucapkan. Karena yang keluar dari mulut seseorang –karena kecerobohannya– seringkali menimbulkan bencana dan malapetaka pada orang lain. Juga hendaknya selalu menggunakan bahasa dan tutur yang selalu diajarkan oleh Rasulullan dan sesuai tuntunan al-Quran.Berdasarkan bahasan di atas dapat diketahui bahwa komunikasi mendapat perhatian sangat besar dalam agama Islam dan mengarahkannya agar setiap muslim memakai etika islami dalam berkomunikasi. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya ayat-ayat yang berkaitan dengan etika komunikasi, baik dalam Al-Qur’an maupun hadits.

Dalam berkomunikasi Allah telah memberikan petunjuk bagi hambanya, agar dalam  berkomunikasi mereka mampu menjalin komunikasi yang baik. Komunikasi yang sesuai dengan ajaran Al Qur’an dengan segenap prinsip-prinsip didalamnya dan dengan etika-etika tertentu akan menjadikan komunikasi dapat membuat komunikasi berjalan sesuai dengan yang diharapkan, tujuan dalam berkomunkasi dapat tercapai, sehingga komunikasi dapat dikatakan baik. Dalam menjalankan kehidupannya, manusia  memerlukan komunikasi agar proses kehidupan mereka dapat berlangsung. Manusia tidak hanya bisa berkomunikasi dengan sesamanya, namun manusia juga perlu berkomunikasi dengan tuhannya dan berkomunikasi dengan alam semesta.Dalam hal ini sebagai kenyataan di dunia kerja khususnya yang bergerak dalam bidang pelayanan hendaknya sangat penting sekali untuk memahami, menghayati dan mengamalkannya dalam pekerjaan apa yang mesti diperhatikan dalam komunikasi sesuai dengan kaidah yang seharusnya,

 

 

Sumber referensi :

https://tazakka.or.id/artikel/tausyiah/2018/konsep-ujaran-dalam-al-quran/

https://bincangsyariah.com/kalam/delapan-macam-komunikasi-dalam-alquran-apa-saja/

http://animutmainnah.blogspot.com/2012/07/macam-macam-qaulan.html

  1. Gunadi, Himpunan Istilah Komunikasi, 1998).